Saturday 24 December 2016

inspirasi

Bross
Catatan kecil Jum’at Siang,23 Desember 2016                                                                                                                      By : Bunda Ara

Kupandangi benda itu dengan seksama.  Tingkat respect di awal sebenarnya bernilai 6.  Tak ada keinginan untuk membelinya. Apalagi memakainya.  Bukan karena bros itu jelek. Bagus sih.  Menarik dan anggun aku kira.  Pasti teman-teman guru akan berdecak kagum untuk membeli lalu memakainya. 

Kupandangi kembali bros berhias tiga helai bulu burung halus itu.  Kupilih warna coklat agar tak terlalu mencolok. Ukurannya yang besar, membuat aku pasti merasa tak akan nyaman memakainya.  Tak pede gitu loh...Padahal bros itu bentuk utamanya sih bunga.  Bunga yang terbuat dari rajutan pita kecil, kemudian diberi hiasan tambahan beberapa payet dan 3 helai bulu burung.  Hadeuuuuh... kebayang, betapa hebohnya dandananku dengan kerudung berhias bros seperti itu.

Namun entah kenapa, ada kekuatan besar yang kali ini mengalahkan egoku untuk HARUS memakainya.  HARUS.  Loh... Why... kunaon...bukankah kamu terbiasa untuk tak menarik pandangan mata orang di sekitarmu, dengan berusaha berdandan sesuai porsi dan kelayakan.  Bros mungil, itu yang kamu suka kan?

Hihi...Kali ini egoku harus kulawan.  Bros itu sungguh membuatku terinspirasi.  Aku jadi ingin mengingat kembali kronologis bros itu hingga sampai di tanganku.
Aku ingat betul, siang itu hampir 3 jam aku terpanggang sinar matahari.  Menyusuri jalan seputar kota  Karawang bersama seorang sahabat.  Walau terik, kami jalani saja semua dengan santai dan obrolan ringan.  Membawa missi dan pesan beberapa teman yang ingin dibelikan makan siang.  Hingga akhirnya kami mampir ke warung nasi langgananku untuk menyelamatkan cacing  di perut kami yang sudah meronta kelaparan. 

Saat selesai membayar makanan yang kami beli dan belum sempat kubalikkan badan menuju pintu keluar, seorang laki-laki masuk membawa tas dan langsung menawarkan kami beberapa barang di tangannya.  Bros-bros lucu dengan ukuran “raksasa”.

Wow...Sesaat aku terpana.  Ragu antara ingin langsung menolak namun tak tega.  Apalagi saat kudengar ia menawarkan dagangannya dengan antusias, tanpa suara.  Hanya beberapa kata yang tak jelas aku dengar.  Sambil sesekali tangannya bergerak memberi isyarat harga.  Ups... pada titik inilah haruku membuncah...Masya Allah... ternyata pedagang bros ini seorang disable.  Ia  tuna rungu dan tuna wicara.

Aku tertunduk sejenak dalam sesak menahan tangis.  Maaf, aku memang perasa banget.  Baperan begitu menurut sahabat dekatku.  Akhirnya, sesaat setelah membenahi perasaan haruku, dengan antusias aku pilih beberapa bros dalam tas yang dibawa laki-laki itu.  Aduh, agak lama aku memilih. Karena jujur, aku kurang suka dengan ukuran, warna dan bentuknya yang tak sesuai dengan gaya keseharianku.  Aku mungil dan tak ingin mencolok.  Terpilihlah hanya satu bros.  Satu saja.  Dengan pandangan menyesal aku membelinya. Andai saja bisa, aku ingin memborongnya dan kubagikan kepada teman-temanku... Ah, maafkanlah...

Namun sungguh,tak ada ekspresi memelas di wajah laki-laki itu. Dengan senyum bahagia dia menerima uangnya.  Lalu pergi menjauh setelah kuucap kata terima kasih.  Kuhantar kepergian laki-laki itu dengan desah nafas berat.  Ya Allah... selalu saja aku merasa tak tega, sekaligus bangga. Mungkin aku terlalu berlebihan yaa... sampai tak tahan rasanya untuk menuliskannya dalam sebuah catatan, yang jujur banget sudah lama tak kulakukan.  Kali ini aku HARUS melakukannya. Menulis apa yang aku rasakan, dan membagikannya pada kalian.

Aku berharap, tulisan ini mampu membangkitkan semangat untuk berbuat lebih baik. Belajar ketegaran pada seseorang yang memiliki keterbatasan. Ternyata keterbatasan tak menjadikannya diam dan menunggu belas kasihan. Keterbatasan membuatnya bergerak dan mencari jalan. Keterbatasan membuatnya rela melakukan hal positif  untuk bertahan hidup.  Keterbatasan membawanya pada sebuah keteladanan hidup bagi orang di sekelilingnya.   Tanpa ia sadari, ia telah menginspirasiku.

Kini aku merasa bangga memakai bros itu.  Dengan menyematkan bros itu pada kerudungku, aku akan mengingat siapa penjualnya. Mengingat bagaimana semangatnya ia dalam menjajakan barang dagangannya.  Mengingat cara ia menawarkan barang dengan suara tak jelas dan bahasa isyarat yang coba kupahami. 


Subhanallah... isyarat yang ia berikan, agar aku bisa setegar ia menjalani hari-hari. Tak harus malu dan rendah diri.  Apa yang aku alami sekarang masih jauh lebih baik dari yang ia hadapi.  Aku masih memiliki indra yang baik dan komunikasi yang sempurna.  Seharusnya aku lebih kuat dan tegar dibanding ia. Dan yang lebih harus aku renungkan adalah, seberapa besar perhatian aku dan kita pada mereka.  Seberapa banyak kita sudah peduli akan keberadaannya.  Bantu mereka untuk bangkit dan percaya diri... dengan respect dan penghargaan yang sama seperti yang kita lakukan pada manusia normal lainnya.Wallahu alam bissawab....@ bunda.ara J

Tuesday 14 April 2015

Satu pagi dalam Sepiku ...



Pria Idaman Lain ...
(Catatan Kecil untuk direnungkan para pasangan suami-istri ...                            by : Bunda Zara)
Pada suatu Sabtu pagi.  Mendadak ada keinginan untuk berkeliling kota bersama anak-anak.  Kebetulan suamiku harus pergi ke luar kota untuk satu urusan pekerjaan.  Terjadilah dialog seperti ini.
            “Yah, ibu pinjam mobil ya.” Sengaja tak kuurai maksud peminjaman mobil hari itu untuk keperluan apa.
            “Uhm, Jangan deh.? ” Jawabnya setelah jeda beberapa saat.
            “Loh, kok jangan.  Kenapa?”  Mendadak ada sedih dalam nada bicaraku.  Pelit. 
            “Buat apa sih, mau ke mana?”
Mendung di hati membungkam bibirku pada akhirnya.  Larangan itu membuatku sedih.
            “Ayah takut ibu pergi dengan PIL...”
Ups!!  PIL??  Ga salah dengar kah aku? PIL is the mean Pria Idaman Lain kan?  Wowww. 
            “Astaghfirullah... benar sekali dugaan Ayah.”  Seruku sambil cengengesan.  “Ya sudahlah... ga usah.  Padahal ibu kan mau bawa anak-anak jalan-jalan.”  Semangatku langsung melorot ke titik nol.  Kalimat yang diucapkan suamiku sungguh menikam.  Mungkin dia tak bermaksud serius.  Just kidding.  Tapi rasanya .... ada benarnya sih. 
Upss lagi deh!!
Betul sekali dugaan suamiku.  Aku memang punya PIL, alias Pria Idaman Lain.  Tak Cuma satu.  Lebih malahan.  Mau tau siapa mereka?
Pria Idaman Lain pertamaku adalah Muhammad.  Tapi beliau sudah lamaaaa berpulang ke Rahmatullah.  Jauh sebelum aku lahir ke bumi.  Ribuan tahun yang lalu pastinya.  Aku mengenalnya hanya lewat buku dan cerita yang kudengar.  Tapi dari cerita itu saja, aku langsung jatuh cinta.  Ciusss banget. 
Muhammad adalah laki-laki yang konon katanya ganteng.  Banget.  Tapi bukan itu yang membuatku jatuh cinta dan mengidamkannya.  Kesabaran, kelembutan, kejujuran, sifat kasih sayangnya pada wanita telah membuatku mendambakan laki-laki seperti beliau.  Sayangnya, beliau seorang Nabi dan Rasul.  Dibanding aku?  Yaaah... aku mah apa atuh?
Pria idamanku yang kedua adalah Nicholas Syahputra.  Ganteng dan cool.  Ga tau kenapa, tiap melihatnya aku merasa bergetar dan sejuuuuk.  Hahaha ... tapi lagi-lagi aku harus malu hati.  Dia kan seorang artis masyur.  Publik figur.  Pokoknya tak sekufu lah ya denganku.  Lagi-lagi... da aku mah apa atuh... J
Yang ketiga, masih dari kalangan orang masyur.  Reza Afghan Syah.  Suaranya yang super duper merdu, membuatku hanyut dalam perasaan mendalam.  Lembut dan membuatku selalu haru mendengarnya.  Betah berlama-lama mendengar suaranya.  Hihihi .... apa pantas aku buat dia?  Lagi-lagi berikutnya adalah .... da aku mah siapa ah??
Yang keempat, jujur, aku jatuh cinta banget dengan kepiawaian managerial dan kesabaran beliau menghadapi segala masalah hidup.  Dahlan Iskan namanya.  Banyak cerita tentang beliau aku lahap dan baca.  Super deh... Sayang seribu sayang juga.  Beliau ga bakal level dengan aku.  Da aku mah ... apa atuh?  Wkwkwk ....
Aku hanya wanita sederhana.  Diciptakan Allah dengan segala kekurangan dan kelebihan.  Aku sadar betul  dengan kelebihan dan kekurangan itu.  Namun bukan berarti aku tak boleh berharap memiliki pasangan hidup yang serupa atau lebih tepatnya mendekati salah satu pria-pria yang aku sebutkan di atas kan?  Tampan, kaya, penyabar, lembut, sukses dalam kehidupan dan mampu membimbing keluarga dalam iman dan Islam.  Hingga aku mampu menjalani peran dan tugasku sebagai seorang istri dan ibu dengan tenang dan bahagia J
Nah, dengan kesadaran akan kekurangan itu pula lah, akhirnya aku tak dapat menolak laki-laki yang kini menjadi pendamping hidupku.  Dengan satu keyakinan, seiring waktu, kekurangan dan kelebihan itu akan menjadi sebuah kekuatan jika disatukan dengan baik dan benar dalam sebuah biduk rumah tangga.  Kalaupun pada akhirnya tak terjadi konspirasi yang seperti diharapkan, aku hanya bisa menyerahkan dan mengembalikan semuanya pada Sang Pencipta Kehidupan.  Semoga aku diberikan kesabaran untuk menghadapinya. 
Jadi suamiku, mohon maafkan aku.  Aku memang selalu memiliki PIL.  Pria Idaman Lain.  Dengan berbagai kriteria keunggulan yang mereka miliki.  Dengan harapan, kau bisa mengerti, laki-laki seperti apa yang kuharap akan mendampingi hidupku hingga akhir hayat.  Bukan hanya melulu karena ketampanan wajah dan kekayaan harta.  Namun lebih pada keimanan, Keislaman serta akhlak dan pribadi yang menentramkan hatiku.  Wallahu alam. J

(Catatan kecil, pada titik aku bingung untuk berkata-kata ... ) 

Wednesday 28 January 2015

LA GIARDINIERA (S.R.L.)

LA GIARDINIERA (S.R.L.)
27, Via Martin Luther King 21040 Venegono Inferiore (VA)
Inferiore
ITALY
+39 0818 038 827

Wednesday 21 January 2015

n in Mexico u

Ve been secured as easily, but the American Minister had only one idea, and that was to secure "a pass" for a Southern Pacific Railroad from the Mississippi River to the Pacific Ocean. The pass desired was the Guadaloupe Canon, used as a

Monday 5 January 2015

Comeback ...

Deadline                                  

 (catatan kecil di akhir liburan sekolah...)
By : Titin Supriatin, S.P


Tiga  hari lagi waktu yang tersisa!  Kutatap bola mata bundar milik anakku dengan lekat.  Tak ingin kulepas momen sesaat yang sering kulewati atau lebih tepatnya kuhindari.  Karena dengan seringnya menatap bola mata anakku yang tanpa dosa dan berharap banyak ibunya bisa hadir menemani aktivitas kesehariannya, sesering itu pula aku merasa bersalah.  Aku tak punya cukup waktu untuk sekedar menemani dan mengantarnya sampai pintu gerbang sekolah.  Hanya mengantar padahal.  Tidak harus menunggui dan menemaninya sampai waktu kepulangan.  Seperti kebanyakan temannya yang masih duduk di TK A.

Kali ini tidak.  Tak akan kulewatkan. Kutatap lagi bola mata jernihnya sebelum tubuh mungil itu hilang di balik pintu kelas.  Senyum bahagia merekah di bibirnya.  Mengundang genangan air yang tiba-tiba saja memenuhi kelopak mataku.  Duhai Rabb... tak kunyana, bahagia itu sangat sederhana.  Melihat senyum bungsuku yang manis, aku merasa bahagia.  Haru dan sedih bercampur jadi satu.  Maafkan ibu anakku. Mugkin selama ini kau begitu merindukan ibu ada di sampingmu.  Kau tak menuntut setiap waktu untuk terus bersama ibu.  Namun jujur sayang... waktu ibu memang sangat terbatas di pagi hingga sore hari.  Ibu harus bekerja.

Bersyukur, aku berprofesi sebagai guru.  Saat jeda waktu antar semester, ada waktu libur yang bisa aku manfaatkan sebaik-baiknya.  Apalagi   kali ini waktu libur sekolah tempatku mengajar berbeda dengan kebanyakan sekolah lainnya.  Termasuk sekolah anak-anakku.  Aku bisa memanfaatkan sisa waktu 3 hari ini untuk menikmati peranku yang selama ini tak sepenuhnya  mampu aku jalankan.  Bukan karena kesengajaan.  Tapi karena sebuah tuntutan dan konsekuensi pengabdian.

Seperti pagi ini, saat hari pertama anak-anakku mulai bersekolah kembali, aku bisa memandikan mereka, merapikan seragam, menyiapkan sarapan, bekal makan siang mereka, nasehat-nasehat sederhana yang sering dilakukan ibu-ibu yang lainnya di pagi hari.  Dengan kesadaran PENUH.  Tidak dengan separuh hati yang melayang ke sana ke mari.  Semisal memandikan, tapi hatiku berfikir di mana menyimpan seragam kerjaku, kerudung apa yang cocok kukekanakan hari ini, sepatu apa yang akan aku pakai, tugas apa yang harus kusiapkan untuk murid-muridku.  Aaaah... aku ada bersama aktivitas anak-anakku, tapi hatiku TIDAK.

Subhanallah. Patut kuulang ribuan kali berkah libur ini.  Aku bisa melepas anak-anakku ke sekolah dengan senyum teduh dan doa yang kubisikkan lembut di telinga mereka.  Kesyahduan indah pagi hari, yang mampu menentramkan hati anak-anakku untuk berangkat dengan ceria dan semangat yang menyala.  Kupandangi kepergian mereka dengan doa yang semoga mampu mengetuk pintu  langit tempat Rabb-ku berada,

“Duhai Allah... yang menciptakan alam semesta raya, hamba titipkan buah hati amanah-MU pagi ini dan pagi-pagi berikutnya.  Tolong jaga mereka ya Rabb... dekat ataupun jauh dari pandangan mata ini.  Jauhkan dari mara bahaya dan dari mereka yang aniaya.  Hamba menyayangi mereka, dengan segala keterbatasan ini.  Engkaulah sebaik-baik pelindung... “

Tak berlebihan jika aku ungkapan di sini, betapa aku ingin waktu yang tersisa mampu membayar hutang waktu yang seharusnya dimiliki anak-anakku.  Belajar di malam hari, mengulang pelajaran yang belum mereka pahami dengan SABAR.  Karena jujur, sering waktu yang kubayar di saat menemani mereka belajar atau bermain, adalah waktu sisa yang ada hari itu.  Dengan bumbu letih, cape, penat, dan emosi yang terbawa dari tempat kerja.  Kadang pekerjaan sekolah dan masalah masih belum sepenuhnya lepas dari pikiranku.  Hingga tak jarang anak-anakku tak terlalu bersemangat untuk mengikuti petunjuk ibunya saat mengulang pelajaran atau mengerjakan PR.  Padahal ibunya sangat berSEMANGAT untuk menuntaskan aktivitas belajar malam hari itu.  Agar segera bisa beristirahat.  Yang lebih mencemaskan, semangat yang dimaksud kadang adalah semangat penuh EMOSI (karena sudah penat) saat mengajari anak-anak. Hilang kesabaran.  Padahal saat mengajari murid-murid di sekolah, bisa begitu lembut dan sabar ruarrr biasa!
 Kesibukanku mengajar dampaknya memang tak sederhana. Telah cukup banyak peristiwa yang menjadi catatan buatku.  Bungsuku yang sering dan berani protes secara langsung berkata seperti ini, “Ibu... Ara jarang deh dianter ibu ke sekolah atau ngaji.  Temen-temen Ara mah dianter ibunya...”  Atau lain kesempatan, “Ibu... Ara mau lomba menari besok.  Ibu lihat Ara ya...”  Permintaan yang teramat sederhana.  Mengantar. Melihat.  Tak meminta barang atau mainan mahal.  Tapi aku tak sanggup memenuhinya.  Astaghfirullah...

Anak ketigaku juga sering mengeluh.  “Ibu, aku malu jalan-jalan tak ditemani ibu.  Semua ibu temanku ikut karya wisata sekolah.  Aku sama siapa?”  Atau lain peristiwa saat aku telat menjemputnya pulang sekolah, “Ibu, kok lama banget  jemput aku... aku kan sedih teman-temanku sudah pulang semua”

Anak keduaku, melakukan protes dengan gerakan tutup mulut.  Susah mengungkapkan apa yang diinginkannya.  Atau lebih tepatnya malas mungkin.  Karena beberapa keinginannya tak bisa aku penuhi.

Dan protes yang sempat membuatku teramat syok adalah, saat kutemukan catatan kecil yang ditempel sulungku di dinding kamarnya.  Bunyinya seperti ini, “Ibuku memang handal mendidik murid-muridnya, tapi tidak untuk anaknya...”

Deg.  Jantung ini serasa berhenti berdetak.  Sakit.  Sakitnya tuh bukan hanya di sini (di hati maksudnya).  Tapi di hampir seluruh persendian tubuh.  Lemas rasanya diprotes si sulung yang sudah remaja dengan diam-diam. Tak ada cukup waktu kah untuk mereka mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka.  Padahal aku merasa sudah memberikan cukup waktu dan kesempatan untuk mereka bicara.  Astaghfirullah.

Tinggal 3 hari lagi!!!  Aku harus bergegas dan menciptakan moment yang tak akan pernah bisa dilupakan anak-anakku. Sederet rencana untuk 3 hari ke depan sudah kususun rapi.  Kucatat apa saja yang akan aku lakukan untuk menemani dan hadirkan hati bersama mereka. Saat tekun menulis catatan-catatan kecilku, tiba-tiba....  Kling.  Nada pengingat di ponselku berbunyi.  Sebuah pesan masuk.

“Assalamualaikum  Bu Titin.  Aku kangen ibu deh.  Sebentar lagi aku sidang Bu.  Doain ya Bu...”

Subhanallah.... dari Fida Thahirah, murid kelasku belasan tahun lalu.  Saat ini tengah menyelesaikan tahun terakhirnya di Fakultas kedokteran UGM.  Masih menyempatkan diri berkirim pesan.  Walau bertahun tlah lewat, komunikasi kami masih terjaga.  Menghadirkan dimensi waktu dan tempat yang tak berbatas.

Air mataku menitik.  Rasa haru menyeruak ke permukaan.  Terbayang masa kebersamaan kami dulu.  Belajar membaca, menulis, berhitung.  Tertawa, sedih, marah, jengkel, bercerita dan bermain bersama.  Ah, anakku... pastinya ibu akan mendoakanmu.  Sebagaimana janji bu guru pada kalian dulu.  Agar kalian, murid-murid ibu, bisa menjadi orang-orang berguna untuk masyarakat.  Menjadi manusia-manusia yang jauh lebih hebat dari bu guru.

Sebuah dilema.  Antara pekerjaan dan tugas sebagai seorang ibu sekaligus guru.  Tak mungkin kulepas kedua peran itu untuk saat ini.  Aku masih diberikan Allah waktu dan kesempatan untuk berkarya.  Berbagi ilmu, empati, kasih sayang, keberadaan diri.  Di hadapan anak-anak dan murid-murid sekolahku.  Dunia yang tak sanggup aku tinggalkan.  Sungguh, menjadi seorang pendidik adalah cita-cita yang tak kan pernah mati.  Walau mungkin, aku tak sepenuhnya mampu menjalankan amanah untuk selalu bersama anak-anakku di rumah .  Karena aku yakin, Allah berikan tangan-NYA yang Maha Kuat untuk menjaga anak-anakku.  Hingga mereka tumbuh dan mandiri dibanding teman-teman yang lainnya.  Semoga mereka memahami peran ibunya yang tak sederhana.  Mereka pun rela untuk berbagi perhatian dan kasih sayang ibunya dengan anak-anak lain.  Sebagaimana, beberapa kali aku mengatakan dan berpesan pada mereka,

“Anak-anakku, mohon maafkan ibu.  Semoga keikhlasan ibu mendidik dan mengajar murid-murid di sekolah.  Melayani telpon, sms atau kunjungan orang tua  mereka yang menyita waktu kebersamaan kita, berbalik menjadi amalan dan pahala yang terus mengalir dan memberkahi kehidupan kita.  Kalian semua akan jauh lebih mandiri, sabar, cerdas dan mampu menghadapi masalah dengan tenang.  Ibu yakini itu.  Allah akan senantiasa bersama kita....”
Kututup catatan kecil hari ini dengan sebuah janji.  Janji sederhana di tahun baru.  Tahun 2015.  Aku ingin membuat sebuah resolusi baru dalam hidupku.  Memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk anak-anak dan muridku.  Kalaulah aku tahu deadline liburku tinggal 3 hari ini, namun aku tak pernah tahu, kapan Allah tetapkan waktu untukku hidup di dunia ini.  Hitungan detikkah, menitkah, jamkah, bulan atau tahun?  Aku tak tahu kapan deadline hidupku.  Yang ingin kulakukan adalah membuat anak-anak dan muridku tahu, bahwa aku akan bersungguh-sungguh menjadi ibu dan guru sebagaimana yang mereka harapkan.  Dengan segala keterbatan yang ada padaku.  Wallahu alam bissawab.

(Karawang, 5 Januari 2015.  Untuk anak-anakku yang hebat : Teh Fida Amatullah, a Abdullah Azzam, a Abdullah Miqdad dan Zhafira Zara Amatullah...terima kasih sudah mau mengerti dan berbagi waktu untuk murid-murid ibu...)